Friday 18 August 2017

Aku, Dua, Tiga, dan Tuhan


   
Ilustrasi Aku, Dua, Tiga dan Tuhan
                                 
Aku terlahir dalam keluarga sederhana dengan dua kakak. Tuhan menghendakiku menjadi yang nomor tiga dan menjalani kehidupan seperti angka tiga juga.
Aku gadis desa dengan dua teman kecilku dulu yang membuat kami seperti tiga serangkai di desa ini. Mereka memiliki pribadi yang berbeda, dari latar belakang keluarga yang berbeda, dan perjalanan kehidupan yang berbeda juga. Selisih umur kami hanya satu dan dua tahun, seperti halnya tiga anak tangga, aku adalah anak tangga yang paling bawah yang artinya aku yang termuda diantara mereka.
Suatu saat kami bertiga berencana membeli suatu boneka Barbie di pasar. Tapi menurut kami itu adalah barang yang mahal. Saat itu harganya berkisar antara 12 sampai 15k. Angka itu menurut kami bertiga sangat besar mengingat uang saku kami hanya 0,5k setiap harinya yang artinya butuh waktu sekitar 10 hari untuk bisa membeli mainan anak kecil itu. Kami pikir dalam waktu 10 hari boneka itu akan hilang diambil pembeli lain.
Tuhan meridhoi kami untuk membelinya. Sebuah ide jenius terbersit dalam salah satu otak sang tiga serangkai. Kami memulung besi.
Saat itu adalah hari keberuntungan kami. Lagi lagi kami berjumpa dengan angka tiga, dimana kakak kelas bilangan dua kali tiga sedang menjalani ujian nasional selama tiga hari. Itu adalah kesempatan emas.
Hari pertama, kami pergi ke rumahku, dan berpencar di sekeliling pekarangan utara rumahku. Hanya paku dan kaleng bekas yang kami jumpai, tapi kami tetap bersyukur. Kami menimbunnya lagi di kamar tidur milik temanku yang saat itu masih berupa permadani tanah.
Sehari berlalu, kami beralih objek sasaran. Berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Bertanya dengan banyak orang punyakah anda sebutir besi atau barang bekas berbau besi?. Menimbun sedikit demi sedikit usaha yang kami perjuangkan demi sebuah boneka Barbie cantik yang menjadi impian.
Tiba hari ketiga. Puncak seluruh usaha kami harus dibayar dengan apa yang kami mau. Tuhan kembali menunjukan pada kami sebuah keoptimisan. Timbunan permadani tanah dalam bilik kamar temanku, kami buka. Membayangkan sebuah neraca menunjukkan angka besar atasnya dan memberikan tanda sejumlah uang bernilai besar dari bongkahan besi besi itu. Kami membawanya ke pusat pengumpulan barang barang bekas (rumah pemulung besar) di dusun sebelah. Dikilokan bahasa kami mengatakan.
Jarum neraca mulai bergerak. Angan angan kami tak lepas dari cantiknya boneka Barbie yang kami dambakan. Selesai.
Kalkulator sang bos pemulung dikeluarkan dari brankas kecil miliknya yang selalu stand by dipinggul kiri sang bos. Selembar uang berwarna merah ia keluarkan. Kali ini tidak dengan angka tiga. Sepuluh ribu rupiah. Kami tadahkan keenam tangan kami demi kertas itu. Gambarnya bukan lagi sebuah Rumah Limas ataupun Sultan Mahmud Badaruddin II, tapi Barbie cantik dengan rambut kuning lurus dan sepatu tingginya. Beralih dan berbalik badan, lalu melangkahkan kaki menuju rumah temanku dengan sepuluh ribu rupiah. Kami bangga, bersyukur, dan bahagia. Tiga kata itu kami rasakan selama perjalanan.
Hari ketiga. Siang itu adalah waktunya untuk mengakhiri rencana kami dan mengubahnya menjadi impian yang nyata. Kami pergi ke pasar, mengayuh sepeda dengan mengantongi uang sepuluh ribu. Impian, impian, dan impian akan segera beralih menjadi kenyataan.
Tiba di depan penjual mainan anak anak, kami mencari boneka Barbie dambaan kami. Aku meraihnya. Temanku menanyakan harganya. Tiga belas ribu rupiah. Untuk yang kesekian kalinya kami bergeliat dengan angka tiga. Uang yang kami bawa kurang tiga ribu rupiah. Temanku yang lain mencoba menawar harga boneka Barbie itu. Aku hanya diam dan mengajukan harap pada tuhan.
Seperti halnya kutemui angka tiga, akupun dipertemukan dengan ridho tuhan. “Aku beramal seribu rupiah untuk masing masing dari kalian betiga. Jaga boneka ini.”, itulah kata nenek penjual mainan. Mimpi sudah bukan lagi rencana. Karena usaha dan ridho tuhan yang membumbuinya mimpi menjadi kenyataan.
Hari minggu tiba. Itulah hari kami, pukul delapan sampai jam satu siang. Waktu berjam jam itu kami habiskan bersama Barbie kecil kami. Membuat baju untuknya dari kain perca, rumah dari kardus mie instan dan segala perabot rumah tangganya, serta membuatkannya makanan dari daun daunan dan rumput di sekitar markas kami. Sebuah hasil jerih payah akan terasa sangat berharga dan akan selalu dijaga dengan sepenuh jiwa raga.
Belum puas memanjakan Barbie kacil kami, pukul tiga, setelah selesai mengaji kami bermain dengannya lagi. Waktu bermain akan habis jika adzan ashar telah tiba. Walaupun hanya bermain, kami tetap mengingatNya, karena itu yang diajarkan orang tua kami. Melakukan apapun, asalkan kami tetap bersamaNya dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun keadaan kami.
Itulah secuil kisahku sekitar sepuluh tahun yang lalu bersama mereka. Tiga gadis pemulung.
Kini kami sudah berpisah lama, dan menjalani kehidupan yang berbeda. Beberapa waktu lalu aku dipertemukan olehNya dengan mereka disuatu rumah. Kukatakan aku merindukan masa kecil dan sosok mereka.
“Kehidupan berjalan mengikuti waktu yang selalu berputar. Masa kecil kita sudah tuhan isi dengan berjuta kebahagiaan. Masa remaja kita sudah dibimbing tuhan untuk mengikuti alur kehidupan menuju masa depan yang indah. Sekarang inilah kita dan merekalah orang tua kita yang tiada henti mendoakan kebaikan mendampingi nafas dan detak jantung kita. Bukan hal yang berguna jika kamu terus merindukan masa lalu. Lihatlah, rambut mereka memutih, kulit mereka mengeriput, dan nafas mereka sudah mulai terengah. 
Apakah kamu mengerti apa maksudku?”, kata teman tertuaku di masa lalu.
Aku terdiam dan memahaminya, berharap tuhan meridhoi niatku, lalu kukatakan dalam hatiku “Aku hidup dengan tenang, berbekal ilmu dari masa masa pendidikan yang sudah kujalankan, mengamalkannya dalam kehidupan, dan menjadi orang yang berguna bagi sesama makhluk tuhan. Aku adalah seorang pembangun masa depan dengan karya karyaku dalam bidang bangunan, menjadi arsitek handal dan membangun daerah terpendam, Papua dan Kalimantan, semoga tuhan mengizinkan.”. Setelah itu ku katakan pada temanku bahwa aku mengerti apa yang dia maksud.
Silaturahim dengan seluruh tetangga berakhir disana. Aku dengan niatku yang baru muncul dihari yang suci itu. Kami kembali kerumah masing masing dengan kesimetrisan senyuman sebagai tanda perpisahan.

Selesai.