Aku, Dua, Tiga, dan Tuhan
Aku
terlahir dalam keluarga sederhana dengan dua kakak. Tuhan menghendakiku menjadi
yang nomor tiga dan menjalani kehidupan seperti angka tiga juga.
Aku
gadis desa dengan dua teman kecilku dulu yang membuat kami seperti tiga
serangkai di desa ini. Mereka memiliki pribadi yang berbeda, dari latar
belakang keluarga yang berbeda, dan perjalanan kehidupan yang berbeda juga.
Selisih umur kami hanya satu dan dua tahun, seperti halnya tiga anak tangga,
aku adalah anak tangga yang paling bawah yang artinya aku yang termuda diantara
mereka.
Suatu
saat kami bertiga berencana membeli suatu boneka Barbie di pasar. Tapi menurut kami
itu adalah barang yang mahal. Saat itu harganya berkisar antara 12 sampai 15k.
Angka itu menurut kami bertiga sangat besar mengingat uang saku kami hanya 0,5k
setiap harinya yang artinya butuh waktu sekitar 10 hari untuk bisa membeli
mainan anak kecil itu. Kami pikir dalam waktu 10 hari boneka itu akan hilang
diambil pembeli lain.
Tuhan
meridhoi kami untuk membelinya. Sebuah ide jenius terbersit dalam salah satu
otak sang tiga serangkai. Kami memulung besi.
Saat
itu adalah hari keberuntungan kami. Lagi lagi kami berjumpa dengan angka tiga,
dimana kakak kelas bilangan dua kali tiga sedang menjalani ujian nasional
selama tiga hari. Itu adalah kesempatan emas.
Hari
pertama, kami pergi ke rumahku, dan berpencar di sekeliling pekarangan utara
rumahku. Hanya paku dan kaleng bekas yang kami jumpai, tapi kami tetap
bersyukur. Kami menimbunnya lagi di kamar tidur milik temanku yang saat itu
masih berupa permadani tanah.
Sehari
berlalu, kami beralih objek sasaran. Berpindah dari satu rumah ke rumah lain.
Bertanya dengan banyak orang punyakah anda sebutir besi atau barang bekas
berbau besi?. Menimbun sedikit demi sedikit usaha yang kami perjuangkan demi
sebuah boneka Barbie cantik yang menjadi impian.
Tiba
hari ketiga. Puncak seluruh usaha kami harus dibayar dengan apa yang kami mau.
Tuhan kembali menunjukan pada kami sebuah keoptimisan. Timbunan permadani tanah
dalam bilik kamar temanku, kami buka. Membayangkan sebuah neraca menunjukkan
angka besar atasnya dan memberikan tanda sejumlah uang bernilai besar dari
bongkahan besi besi itu. Kami membawanya ke pusat pengumpulan barang barang
bekas (rumah pemulung besar) di dusun sebelah. Dikilokan bahasa kami
mengatakan.
Jarum
neraca mulai bergerak. Angan angan kami tak lepas dari cantiknya boneka Barbie
yang kami dambakan. Selesai.
Kalkulator
sang bos pemulung dikeluarkan dari brankas kecil miliknya yang selalu stand by dipinggul kiri sang bos.
Selembar uang berwarna merah ia keluarkan. Kali ini tidak dengan angka tiga.
Sepuluh ribu rupiah. Kami tadahkan keenam tangan kami demi kertas itu.
Gambarnya bukan lagi sebuah Rumah Limas ataupun Sultan Mahmud Badaruddin II,
tapi Barbie cantik dengan rambut kuning lurus dan sepatu tingginya. Beralih dan
berbalik badan, lalu melangkahkan kaki menuju rumah temanku dengan sepuluh ribu
rupiah. Kami bangga, bersyukur, dan bahagia. Tiga kata itu kami rasakan selama
perjalanan.
Hari
ketiga. Siang itu adalah waktunya untuk mengakhiri rencana kami dan mengubahnya
menjadi impian yang nyata. Kami pergi ke pasar, mengayuh sepeda dengan
mengantongi uang sepuluh ribu. Impian, impian, dan impian akan segera beralih
menjadi kenyataan.
Tiba
di depan penjual mainan anak anak, kami mencari boneka Barbie dambaan kami. Aku
meraihnya. Temanku menanyakan harganya. Tiga belas ribu rupiah. Untuk yang kesekian
kalinya kami bergeliat dengan angka tiga. Uang yang kami bawa kurang tiga ribu
rupiah. Temanku yang lain mencoba menawar harga boneka Barbie itu. Aku hanya
diam dan mengajukan harap pada tuhan.
Seperti
halnya kutemui angka tiga, akupun dipertemukan dengan ridho tuhan. “Aku beramal
seribu rupiah untuk masing masing dari kalian betiga. Jaga boneka ini.”, itulah
kata nenek penjual mainan. Mimpi sudah bukan lagi rencana. Karena usaha dan
ridho tuhan yang membumbuinya mimpi menjadi kenyataan.
Hari
minggu tiba. Itulah hari kami, pukul delapan sampai jam satu siang. Waktu
berjam jam itu kami habiskan bersama Barbie kecil kami. Membuat baju untuknya
dari kain perca, rumah dari kardus mie instan dan segala perabot rumah
tangganya, serta membuatkannya makanan dari daun daunan dan rumput di sekitar
markas kami. Sebuah hasil jerih payah akan terasa sangat berharga dan akan
selalu dijaga dengan sepenuh jiwa raga.
Belum
puas memanjakan Barbie kacil kami, pukul tiga, setelah selesai mengaji kami
bermain dengannya lagi. Waktu bermain akan habis jika adzan ashar telah tiba.
Walaupun hanya bermain, kami tetap mengingatNya, karena itu yang diajarkan
orang tua kami. Melakukan apapun, asalkan kami tetap bersamaNya dimanapun,
kapanpun, dan bagaimanapun keadaan kami.
Itulah
secuil kisahku sekitar sepuluh tahun yang lalu bersama mereka. Tiga gadis
pemulung.
Kini
kami sudah berpisah lama, dan menjalani kehidupan yang berbeda. Beberapa waktu
lalu aku dipertemukan olehNya dengan mereka disuatu rumah. Kukatakan aku
merindukan masa kecil dan sosok mereka.
“Kehidupan berjalan mengikuti waktu yang selalu berputar. Masa kecil kita sudah tuhan isi dengan berjuta kebahagiaan. Masa remaja kita sudah dibimbing tuhan untuk mengikuti alur kehidupan menuju masa depan yang indah. Sekarang inilah kita dan merekalah orang tua kita yang tiada henti mendoakan kebaikan mendampingi nafas dan detak jantung kita. Bukan hal yang berguna jika kamu terus merindukan masa lalu. Lihatlah, rambut mereka memutih, kulit mereka mengeriput, dan nafas mereka sudah mulai terengah.
Apakah kamu mengerti apa maksudku?”, kata teman tertuaku
di masa lalu.
Aku terdiam dan memahaminya, berharap tuhan meridhoi niatku, lalu
kukatakan dalam hatiku “Aku hidup dengan tenang, berbekal ilmu dari masa masa
pendidikan yang sudah kujalankan, mengamalkannya dalam kehidupan, dan menjadi
orang yang berguna bagi sesama makhluk tuhan. Aku adalah seorang pembangun masa
depan dengan karya karyaku dalam bidang bangunan, menjadi arsitek handal dan
membangun daerah terpendam, Papua dan Kalimantan, semoga tuhan mengizinkan.”. Setelah
itu ku katakan pada temanku bahwa aku mengerti apa yang dia maksud.
Silaturahim
dengan seluruh tetangga berakhir disana. Aku dengan niatku yang baru muncul
dihari yang suci itu. Kami kembali kerumah masing masing dengan kesimetrisan
senyuman sebagai tanda perpisahan.
Selesai.
Comments
Post a Comment